Selasa, 19 Juli 2011

Long Stories

0 komentar
Menjelang senja, aku pergi ke suatu tempat, dimana dulu biasa kukenakan seragam putih abu-abu. Hari ini, aku berjanji memberikan ‘hadiah’ kepada beberapa pria disana. Sebelum berlanjut lebih jauh, perkenankan aku memperkenalkan diri. Namaku Lavenia,. aku memiliki darah campuran. Papiku pribumi dan Mamiku Swedia, aku lahir di Swedia, Papi bekerja sebagai Duta Indonesia disana. Tentu aku memiliki wajah Indo, paling jelas terlihat dari hidungku yang mancung lancip, kulit dan tulang pipi. Rambutku hitam kemerahan, lurus panjang sebahu. Selain rajin merawat wajah, aku juga selalu merawat tubuh dengan fitness di gym atau sekedar jogging pagi. Tiap hari minggu di Senayan sambil TP (Tebar Pesona). Otomatis, hal itu membuat tubuhku langsing, selain diet yang cukup ketat. Tadinya kuputuskan untuk melanjutkan studi ke Australia. Namun karena permasalahan ini, membuatku banting setir untuk kuliah disini. Sama kasusnya dengan teman-temanku, yang juga ikut acara siang ini di eks sekolah kami. Teman-temanku bernama Lea, Manda dan Sherry. Geng-ku juga satu team cheers, wajah mereka sama kebule-bulean, terutama gadis yang bernama Sherry. Kuparkir mobil ketika tiba, di depanku sudah ada mobil Lea dan Manda. Kami belum mau keluar, tentu menunggu sepi dan semua guru pulang. Aku sempat melihat beberapa guru yang pernah mendidik-ku, rindu sebenarnya aku pada mereka. Ingin kusapa dan kucium tangan mereka. Tapi, bisa panjang urusan jika bertemu, disuruh main ke rumahlah, apalah. Jadinya, aku terpaksa hanya melihat mereka dari balik jendela mobil, yang terlihat gelap dari luar. Seorang pria seperti sosok tukang becak, keluar dari gerbang. Ia menghampiri kami satu persatu. Dari Manda, Lea, terakhir aku. Dia mengetuk kaca jendela mobilku, kutekan tombolnya. Terlihatlah pria hitam bertubuh gempal berpakaian satpam, tertulis nama Lodi di dadanya.

“Wah Non Nia, makin cakep aja kalo begini” pujinya, melihatku mengenakan kaca mata hitam, menghias wajah Indo-ku.

“Hai…gimana, udah sepi ?” tanyaku.

“Udah Non…udah kosong engga ada orang, gerbang juga siap di kunci” jawabnya.

“Sherry dimana ? jadi khan ?” tanyaku lagi mempertegas.

“Jadi dong Non, saya udah ngaceng dari kemaren bayanginnya..apalagi ngeliat Non Nia tambah cakep gini, Non Sherry di kantin nunggunya…” jawab si gemuk itu lagi.

“Ya udah…tunggu aja kita di tempat biasa !” suruhku memastikan.

“Siap Non, hehehe…”, pria itu pergi meninggalkan kami dengan wajah riang. Setelah dia tak terlihat, jalanan benar-benar sepi, barulah kami satu persatu keluar dari mobil.

“Hai, apa khabar ?” sapaku pada kedua sahabat, mereka balik menyapa dan kami pun bertukar pipi.

Kami bertiga, mengenakan jeans panjang dan kaus tanpa lengan. Berbincang sedikit, lalu jalan bersama masuk ke sekolah. Pria gemuk yang tadi menghampiri, berdiri di gerbang memegang kunci. Matanya menelanjangi kami satu persatu. Ketika melintas di depannya, sempat-sempatnya dia menepuk pantat kami bertiga. Seperti biasa, setiap hari sabtu, setelah bubaran sekolah. Kami berjanji melakukan ritual seks dengan mereka, Andre-Tejo-Lodi dan Seto. Tiga diantaranya bertubuh gemuk pendek, hanya yang bernama Tejo yang tinggi besar. Meskipun dari segi wajah, sama amit-amitnya. Ibarat pabrik, mereka barang gagal produksi dan harus dibuang. Kami menghampiri Sherry yang sedang duduk, dia tampak senang dengan kehadiran kami bertiga. Biasanya, dia sendirian yang dikerubuti para penjaga sekolah itu. Aku menoleh ke arah mereka bertiga, lalu berkata.

“Gimana…siap ?” tanyaku, yang langsung dijawab dengan anggukan oleh mereka.

Kami pun berjalan menuju ruang olahraga, tempat kami biasa latihan cheers, juga tempat kami melakukan pesta seks. Persis di depan pintu, aku melihat ke dalamnya. Keempat pria itu menunggu dengan resah dan gelisah, mereka berubah sumringah melihat kami masuk. Aku lebih dahulu memasuki ruangan, teman-teman menyusul di belakangku. Kuputar kaset dalam tape yang ada disitu, alunan musik pun memenuhi ruangan. Kami jejer berempat, meliuk-liukan tubuh menari seirama beat lagu Horny dari Mousse T. Melepas satu demi satu pakaian, hingga telanjang bulat. Ke-empat penjaga sekolah itu menatap penuh nafsu, empat gadis Indo tanpa mengenakan busana, bergoyang erotis. Mereka ikut membuka pakaian tugasnya, kulit hitam legam pun terpampang. Wajah mereka yang sudah buruk, terlihat makin tak tertolong saja ketika bernafsu. Kami bergerak memutar tubuh, membelakangi mereka. Dengan nakal, sengaja kupamerkan isi liang vagina dari belakang. Mereka tak sanggup menahan birahi, bergerak mendekati kami, masing-masing pejantan mencari betinanya. Aku diincar Andre, Tejo menghampiri Lea, Lodi mendekati Manda dan Seto menginginkan Sherry.

We giving them a full fun sex party till sun night smiling at us, as a gift. Gift doin’ what ?.

|||||||||||||||||||||||||||||||||||

Two Weeks before,

Hari ini tepat sebulan setelah kejadianku dengan para kuli bangunan yang memperkosaku dan juga Sherry (baca : Lavenia (lanjutan Adik Kelasku)).

“Pi…ubin di kamar mandi Nia rusak, kena kaki nih berdarah…liat deh !” ujarku manja pada Papi, menunjukkan kaki yang terluka.

“Ya ampun, Niaa…” seru Papi mengomentari luka-ku. Ia langsung berteriak, memanggil para pembantu.

Pak Karsimin si tukang kebun, Jaja supir pribadi dan mbok Siti PRT masuk ke kamarku yang dikiranya ada kejadian apa. Setelah semua berkumpul, melihat keadaan kakiku, mereka segera berlarian mengambil obat merah, kapas dan perban. Papi ngedumel tentang Pak Hasan dan anak buahnya yang tak becus kerja, kamar mandi di dalam kamar pribadiku adalah salah satu tempat mereka merenovasi waktu itu. Mami tidak ada dirumah, dia lebih dulu ke Swedia kemarin. Rencananya papi menyusul besok, disana mungkin semingguan tapi bisa juga lebih. Setelah kakiku selesai diobati, para pembantu balik ke tempat masing-masing untuk kembali bekerja. Papi juga beranjak pergi menuju ke bawah, karena kamarku ada di lantai atas. Kebetulan lukanya tidak terlalu parah, aku masih bisa berjalan normal walaupun agak nyut-nyutan. Aku menuruni tangga dengan susah payah, kulihat Papi duduk di samping pesawat telepon dan menekan beberapa angka disana. Aku duduk di sofa panjang ruang santai keluarga, tiduran menonton Tv. Samar-samar, aku mendengar pembicaraan Papi dengan seseorang, yang aku yakin sepertinya Pak Hasan.

“Bapak gimana sih, anak saya jadi berdarah kakinya !!” omel Papi pada Pak Hasan, mandor sekaligus orang yang memperkosaku kira-kira sebulan yang lalu.

(Iya Pi…omelin aja !, pukulin kalo perlu…dia pernah menggauli anakmu ini sampai tertatih-tatih jalan seminggu !!), keluhku dalam hati.

“Ya udah…besok pagi kita bicarakan, datang aja” kata Papi, menutup perbincangan.

(What !! kuli bangunan itu mau kesini lagi ?! mati gw…), aku diam termangu.

Mataku melayang ke Tv, namun tidak menonton acara yang tertayang. Aku bingung, masalahnya, vcd aku mengerjai Sherry (baca : Adik Kelasku) masih dipegangnya. Pasti dia memanfaatkan moment ini, walaupun aku merasa sedikit aman karena masih ada tukang kebun, supir dan pembantu, entah bagaimana kejadian besok. Aku terus kepikiran sampai tertidur di sofa, Papi menggendongku ke kamar-ku.

Esoknya, aku bangun agak kesiangan. Melihat dari jendela kamarku mobil Papi sudah tak ada, berarti ia sudah berangkat ke kantor. Aku turun ke bawah sarapan, yang biasa disiapkan Mbok Siti. Tapi kemudian, dia izin hendak pergi ke suatu tempat kemungkinan akan pulang malam katanya, aku tak berkeberatan memberinya izin. Selesai sarapan, aku ke ruang tengah menunggu makanan larut dalam perut. Kaki masih terasa sakit, kupijit-pijit pergelangannya, terus turun sampai dekat jari yang terluka.

(Aduh, sialan tuh kuli-kuli !), keluh-ku.

Kunyalakan Tv untuk melupakan nyerinya, tiba-tiba terdengar ketukan pintu yang rupanya Pak Karsimin, biasa kupanggil Pak Simin.

“Misi Non, ini ada Dokter yang dikirim Juragan…”.

Masuklah seorang pria setengah baya berpakaian putih-putih, yang kukenal bernama dr. Purnomo. Dia adalah dokter keluarga, dibayar via per-kedatangan saja. Itupun juga, jika beliau tidak ada janji lain. Beliau pensiunan RSPAD, rumah sakit yang dikhususkan untuk angkatan darat. Kegiatan beliau saat ini hanya sesekali disana, Papi mengenalnya dari seorang teman.

“Siang…” ucap Pak dokter santun, padaku yang masih terbaring di sofa.

“Siang dok, silahkan masuk…” sahutku bangkit duduk.

“Non, kalo begitu…saya permisi kebelakang yah ” kata Pak Simin, yang kujawab dengan anggukan.

“Mari dok masuk…aku sambil tiduran ya, nyeri soalnya” kataku, agar dia tidak sungkan, dokter Purnomo pun duduk lalu menatapku tajam.

“Hmm, kenapa dok ?!” tanyaku karena risih.

“Anu dik, udah lama yah…‘nda terasa, dik Nia sudah besar sekarang…” ujarnya, yang ternyata merujuk ke masalah fisik.

(Jangan-jangan, jangan-jangan nih dokter…), prasangkaku dalam hati.

Aku jadi tak nyaman juga, masalahnya aku dalam posisi berbaring dengan celana pendek dibalik selimut. Walaupun kuakui aku senang dengan pujiannya, sebagaimana wanita yang selalu ingin disanjung.

Selagi aku berpikir yang tidak-tidak karena narsis, dia menyela.

“Jadi, bagian mana yang sakit ?”.

“Ini dok…” tunjukku, ke ibu jari kaki yang kulitnya sedikit sobek dekat kuku. Dia menghampirinya dan berjongkok disana.

Setelah melihatnya, dia tersenyum. Memang Ayahku terlalu berlebihan, luka seperti ini tidaklah perlu mendatangi dokter. Apalagi sekelas dr. Purnomo, tentu biayanya tidaklah murah. Tetapi, seperti itulah orang kaya membuang duitnya.

“Ini toh…ya ya”, dia mengangguk-angguk dan bangkit menuju tasnya untuk mengambil sesuatu.

Mengenai luka-ku bagaimana sudah dikasih tau Papi, dia hanya ingin melihat langsung takut ada sesuatu yang fatal akibat infeksi atau apa. Pak dokter mengambil buku kecil, dimana dia biasa menulis resep untuk ditebus pasien di apotik. Dia membubuhkan sesuatu melalui penanya, lalu merobek secarik kertas tersebut dan diserahkannya padaku.

“Bisa langsung ditebus yah dok, resepnya ?”.

“Iya, biar cepet hilang nyerinya…itu obat pereda dari dalam” terangnya.

“Oo…”, aku menggaruk-garuk pipi karena gatal.

“Pak Simiiin, Paaak…tolong kesini sebentar !” teriakku keras.

“Iyaaa…sebentar”, terdengar suara derap kaki, dan munculah si tua Simin di muka pintu.

“Ada apa Non ?”.

“Ini Pak, tolong tebus obat yah…” suruhku, kebetulan apotik tidak jauh dari rumah.

“Uangnya Non ?”.

“Ambil aja di kamar saya, dompetnya ada di dalam tas kecil warna Pink Pak”.

“Baik Non…”, Pak Karsimin naik ke atas, tak lama dia turun dan pergi keluar.

(Wah…tinggal gw berdua nih, Hmm…gimana kalau, kuserahkan saja tubuhku ini sebagai ucapan terima kasih), pikirku nakal.

“Itu tadi…obat penyembuh dari dalam dok ?”.

“Betul dik…”.

“Oo…”.

“Memangnya, obat penyembuh dari luar seperti apa dok ?” pancingku.

“Yaa…musti diurut-urut gitu…” jelasnya.

“Diurut gimana dok ?” tantangku, menarik selimut penutup tubuhku sedikit ke atas.

Pak dokter garuk-garuk kepala salting (salah tingkah), dia sempat melirik beberapa detik betis putihku yang dipenuhi bulu-bulu tipis, lucu juga untuk pria seumurnya. Sungguh aku tertantang menggoda pria seperti dia, tidak seperti kebanyakan cowo yang seumuran denganku. Terutama yang tampan dan berharta, pasti mudah kudapatan. Aku dengar dari Papi, dokter Purnomo telah ditinggal mati Istrinya 10 tahun yang lalu. Jadi, sudah 10 tahun dia menduda alias kedinginan (xixixi), kasihan khan ?.

“Diurut gimanaaa ?” tanyaku lagi dengan manja sambil membalik tubuh, sekarang kakiku yang ada di dekatnya.

“Y-ya-yaa-yaaa…di urut…” jawabnya singkat namun terbata-bata.

(Hi hi hi…dasar laki-laki, sama aja…godain lagi ah ^o^), aku tersenyum geli melihat dr. Purnomo yang bingung melempar pandangan. Melihat tubuhku salah, melihat ke tempat lain salah.

“Dokter bisa ajarin urut ‘gak ?” kataku, tidak tanggung-tanggung menarik selimut ke atas hingga setengah pahaku kini menjadi pemandangan gratis baginya.

Glek !, kudengar suaranya menelan ludah, tatapan matanya tiba-tiba berubah, sang Rubah menunjukkan ekornya. Melihat gadis belasan tahun blasteran memamerkan keindahan fisik, membuatnya merasa mubazir jika dianggurkan begitu saja.

“Ehm !” dia berdehem dan menghela nafas, lalu celingak-celinguk seperti maling.

“Dik Nia sendirian ?”.

“Uum…iya, trus gimana urutnyaa ?” kujawab cepat dan kembali menantangnya. Pak

dokter yang sudah terhasut setan mesum, duduk maju mendekatiku.

“Mari dik, kesinikan kakinya!” suruhnya mulai nekat sambil bangkit berdiri, pancinganku akhirnya mendapatkan ‘ikan’.

Kuangkat kedua kaki, dokter Purnomo duduk dan memapahnya. Dia menaruh tangan dan memberanikan diri memijat pergelangan kakiku.

(Emhh…nikmatnyaa…), mata sayuku, gigiku yang menggigit bibir bawah, jariku yang meremas sofa…seolah-olah meng-ekspresikan kata hati.

“Enak dok…Sssh..teruss, biar cepet sembuh” hasutku yang tidak perlu, karena tangannya kini semakin nakal meraba betis.

“Pijatan bapak enak ya Dik ?” tanyanya, aku menjawab dengan anggukan dan desahan yang tentu mengundang birahinya.

“Iya Pak, terus dong…enak….emhh !”, aku menggeliatkan tubuh. Dia semakin berani mengelus paha, bahkan menyentuh pangkalnya.

“Arrhh…Pak !” desahku lantang, ketika kurasakan jarinya mengelusi ‘bagian itu’.

Tubuhku menggelinjang, nafsu dokter Purnomo pun semakin naik dan tak terbendung lagi. Celana pendek beserta celana dalamku, dipelorotkannya dengan sekali tarik.

“Aawh !” aku ber-acting kaget, menutupi kemaluan dengan telapak tangan.

Melihat reaksiku yang malu-malu kucing, membuat dia semakin gemas saja. Celanaku yang sudah turun ke lutut, diloloskan dan dilemparnya jauh-jauh, seolah-olah aku tidak boleh memakainya lagi. Tanganku yang menutupi kemaluan juga dibukanya, sehingga kewanitaan yang selalu kucukur bersih itu ditatapnya nanar. Pak dokter tertegun beberapa saat memandanginya, kemudian dia berkata.
“Tubuhmu sempurna dik Nia !” gombalnya. Pipiku merona, tersanjung mendengar pujian seraya menggigit bibir bawah.

Baru saja dia hendak membenamkan wajah, terdengar pintu garasi terbuka yang artinya Pak Simin sudah kembali dari apotik, ini membuat kami mati kutu,

(Uuh, gagal deh lanjut !), keluhku, dr.Purnomo juga terlihat kecewa dikarenakan ‘nanggung’.

Kami cepat-cepat berpakaian, kembali bersikap seakan tidak terjadi sesuatu. Pak Simin masuk memberikan obat pesananku, lalu pamit ke kamarnya yang ada di belakang.
Pak Karsimin

Pak Karsimin

Aku sebenarnya ingin nekat mengajak dokter ke kamarku di atas. Namun, entah kenapa dia tersadar dari khilafnya. Pak dokter pamit pulang dengan tubuh lesu tak bersemangat. Aku tak bisa menahannya, dan malah jadi BT dengan tukang kebunku yang tak bersalah. Aku makan, minum obat dan tidur siang untuk melupakan libido yang tak tersalurkan. Menjelang sore sekitar pukul 4, aku terbangun, turun ke bawah melahap cemilan untuk menghilangkan lapar. Betul-betul manjur itu obat, nyeriku di kaki hilang total. Padahal baru saja minum sebutir, hebat memang dr. Purnomo. Tapi aah, aku jadi teringat lagi dengan beliau dan masalah libido tadi, juga BT dengan tukang kebun. Aku menuju pintu depan, biasanya jam-jam segini, Pak Simin sedang mencabut rumput, betul saja. (Awas, kubalas), dendamku, yang Pak Simin sendiri tak tau ujung pangkal permasalahan. Aku balik ke kamar, untuk persiapan perang. Kulepas bra dan celdam, kukenakan tank top berdada rendah dan celana pendek full press body. Sehingga, baik itu dada maupun vagina terceplak bentuknya. Sekiranya cukup, aku turun menuju teras depan rumah.

“Sore Non…” sapanya, seraya melempar senyum.

“Sore juga, lagi nyabut rumput yah ?” tanyaku menghampirinya.

“Iya nih, udah panjang…” sahutnya singkat.

“Oo…”, aku sengaja berjongkok di depannya.

“Uhuk ! uhuk !, Ehemm…”, Pak Karsimin merasa sesak di dada, kulihat tonjolan besar di selangkangannya. Aku tertawa menang dalam hati menyukuri.

“Mm, gimana sih…caranya nyabut rumput ? ajarin dong Pak !” pintaku, yang sebenarnya hanya bertujuan menggoda.

“Ehh…ya…iy-iYa” sahutnya tergagap, melihat vaginaku yang terceplak fisiknya di balik celana. Aku pura-pura tidak tau, kalau dia memelototinya lapar.

“Gini yah Pak ?”, tangan kananku menggenggam rumput untuk mencabut, sambil sengaja lagi mencondongkan tubuh hingga payudaraku diintipnya.

“PAK ?!”.

“Eh, iya Non ?”, Pak Karsimin tersentak kaget.

“Gimana doong ? ajarin Niaa…” kataku manja.

“O iya…gini, eh…”, dia terdiam, bingung harus mengajarkannya seperti apa, membantu bagaimana, karena aku sengaja menggenggam rumput keseluruhan. Tidak ada tempat bagi tangannya, selain harus menggenggam tanganku.

“Yaa, cabut Non !” suruhnya, tak berani meraih tanganku.

“Cabut gimana ? engga kuat !” omelku merengutkan wajah, sengaja agar dia lebih nekat.

“Y-ya udah…Non awas dulu tangannya !” sahutnya serba salah.

“Yaah, kalo Bapak yang nyabut…aku engga tau gimana rasanya dong…” kilahku.

“Udah ah, bantuin !” kataku lagi meraih tangannya yang gemetaran, menumpukkannya di pungguk tanganku.

Reaksinya mau mau malu, pasti ini pertama kalinya dia merasakan halusnya tangan gadis belia berwajah Indo.

“Ayo Pak, tariik !”, aku menggenggam rumput kencang, tapi sama sekali tidak menariknya, hanya acting agar dia yang menariknya melalui genggaman pada tanganku.

(Berhasil…hihihi), aku tersenyum, akhirnya dia berani menggenggam erat tanganku.

“Iih, Aaawhh…!!”.

“Non, ‘gak pa-pa ?” tanyanya merangkulku, karena setelah rumput berhasil tercabut, aku pura-pura jatuh dan kepalaku bersandar di dadanya. Dag ! dig ! dug !, jantungnya berdegup di telingaku.

“Engga papa, makasih ya”, aku tersenyum semanis mungkin sambil mengibaskan rambut [TP ^o^], membuat nafasnya tersendat-sendat.

Pak Simin betul-betul memandangku penuh nafsu. Jika dia tidak mengingat budi baik Papi padanya, pasti aku sudah diperkosanya habis-habisan.

“Pak Simin, liat deh…” kataku tertawa kecil seakan senang, sambil memasang wajah se-Innocence mungkin. Padahal sengaja, sedang menarik keluar seluruh syahwat yang dia miliki.

Kakinya yang berjongkok kulihat bergetar, kulirik sedikit, matanya memang sedang menelanjangiku. Ceplakan vaginaku yang paling dia pelototi, matanya seakan ingin keluar dari tempatnya. Yang kedua dadaku yang menyembul, tangan Pak Simin meremas rumput dan mencabik-cabiknya. Dia lakukan dengan tak sadar, hingga hanya rumput di sekitarnya saja yang gundul. Tangannya itu, pasti ingin melakukan hal tersebut pada payudaraku. Aku pun tak kalah horny, putingku mengeras membayangkan Pak Simin bebas semaunya melakukan hal itu padaku. Sayang aku harus jaim, namaku masih putih tak ternoda dalam kaca matanya.

“Nih Pak, Nia ke dalam dulu yaah !” kataku sembari meraih tangannya, menaruh rumput yang tercabut lalu berdiri dan pergi begitu saja.

Kurasakan tatapan matanya seakan menyorot pantatku dari belakang. Di sisi kebun yang terdapat pohon besar, aku menghentikan langkah.

“Mm, ini jamur ya Pak ?” tanyaku, merundukan badan menunggingkan pantat.

Pak Karsimin tidak menjawab, kutahu pasti dia sedang asyik memelototi body-ku dari belakang.

“IYA PAK ?!” tanyaku dengan suara keras. Menolehkan wajah ke arahnya, tetapi masih tetap nungging.

“I-iya Non !” sahutnya tergagap karena busted.

“Oo…”, aku memasang wajah selugu mungkin sambil berlalu meninggalkannya, kembali masuk ke ruang tamu.

Aku mengintip dari balik jendela yang tertutup horden, kulihat Pak Karsimin berjongkok menatap kosong, tampak sedang berpikir sesuatu. Aku yakin yang ada dipikirannya kalau tidak memperkosaku yaa, onani ^o^. Idih, ternyata betul. Kulihat tukang kebunku itu memasukkan tangannya ke dalam sarung, kemudian membuat gerakan yang tidak lain onani. Godaan berikutnya sudah kusiapkan. Kujinjing Polytron mini yang biasa kupakai menyetel musik untuk latihan Cheers, ke teras depan dimana sudah terdapat kaset di dalamnya. Kunyalakan tape dan kuputar kaset, mengalunlah lagu sexy back dari Justine Timberlake. Aku meliuk-liukkan pantat, sesuai judul seirama beat. Gerakanku jadi bukan saja gerakan cherrs, malah di dominasi gerakan erotis. Pak Simin pun jatuh terduduk, kakinya lemas. Dia terang-terangan berani memandangku, walaupun sesekali aku melenggak-lenggokkan kepala ke kiri dan ke kanan, sengaja melempar pandangan ke arahnya. Tampaknya, dia juga tau kalau aku sedang ‘pamer’, menggoda dirinya. Gila !, dia nekat mengeluarkan burungnya dan onani. Aku kini malah yang harus membuang muka, pura-pura tak melihatnya. Ternyata, dia lebih keladi dari yang kunyana.

Tubuhku semakin terasa panas, seperti ketika cheers saja, deg-deg ser namun semakin di tonton semakin merasa seksi. Aku melupakan gerakan cheers, melakukan tarian striptis. Tiang penyangga tingkat rumah berdekorasi ukiran seni, kugunakan untuk berpegangan dan berputar-putar disitu. Kudengar erangan Pak Karsimin semakin keras, kocokannya secepat kilat. Kugigit jari telunjuk, sebelah tanganku menampar-nampar pantatku sendiri, yang semakin lama semakin keras. Sama dengan desahanku, semakin lama semakin bernada tinggi ke arah menjerit orgasme. CROT CROT !!, Walaupun tak melihat langsung, kulirik sekilas Pak Karsimin ejakulasi, mennyemburkan maninya di kebun berumput hijau. Setelah aku yakin dia selesai meledakkan syahwat, aku berjalan mematikan kaset, lalu masuk ke dalam. Sebelumnya, kulihat dia hanya duduk bersila melongo ke arahku. Dia pasti bertanya-tanya apa maksudku, hanya sekedar pamer atau menggoda untuk naik ke ranjang. Kubiarkan dia dalam kebingungannya, aku cukup puas. Dari ruang tamu di balik jendela, kuintip dia sedang apa. Kulihat Pak Karsimin rebahan dengan nafas tersengal-sengal, penisnya yang cukup panjang kini tertidur lemas.

(Bangunin lagi aah hihihi…), aku bermaksud jahat.

Aku berlari ke kamar mandi, menanggalkan seluruh pakaian, hanya mengenakan handuk. Kulepit sengaja tinggi-tinggi di atas dada, sependek mungkin membungkus pahaku. Jika saja aku berjongkok seperti tadi, pasti vagina terlihat keseluruhan. Kuraih kunci mobil pribadiku, untuk berpura-pura mengambil sesuatu di sana. Aku pun keluar teras, kulihat dia masih rebahan dengan mata terpejam. Keisenganku pun menjadi-jadi, kutekan alarm mobil.

“Nguin-nguing-nguing-nguing !!”, Pak Simin terbangun kaget, kulihat dari pantulan kaca jendela mobil di halaman, aku menahan tawa sebisanya.

Kutekan alarm mobil agar berhenti mengaung, kubuka pintu dan pura-pura mengambil sesuatu. Sekiranya actingku cukup, aku keluar mobil dan menguncinya. Aku sengaja tak memandangnya, padahal kutau mata dia tak pernah mengedip dan terus menelanjangi. Masih di teras, tepat depan pintu masuk, sengaja kujatuhkan kunci ke lantai. Dimana Pak Karsimin, juga tepat ada di belakangku.

“Ups…!” aku berakting.

Kutundukkan badan untuk mengambil kunci, aku mendengar Pak Karsimin menegak ludah dengan keras, pasti vaginaku dipelototinya. Hanya segitu aksi pamerku ? tentu tidak. Masih dalam proses mengambil kunci berposisi nungging, kulepas lepitan handuk dengan gerakan yang seakan-akan tidak sengaja ketika kunci terpegang.

“Kyaaa…”, aku berakting menjerit.

“HHNNNNGGGGFFFKKHH !!!”, Pak Karsimin menahan nafas, kulirik di antara kakiku yang mengangkang penisnya mengacung konak sampai mentok ke perut.

“Iyaaaahhh…”, aku pura-pura panik.

Bukannya berjongkok mengambil handuk, aku malah berdiri dan bergerak kebingungan diantara mau mengambil handuk atau kunci mobil. Normalnya tentu mengambil handuk dahulu, tapi karena dalam masa pamer, aku bersikap demikian. Kedua tanganku menutup payudara dan vagina sekedarnya, malah jari sengaja kurentang lebar agar toket terlihat putingnya, vagina terlihat bibirnya. Saat kuambil kunci, kuraih dengan tangan yang menutup vagina. Alhasil, tentu dia melihat bodyku yang telanjang nungging, plus memek yang merekah dari belakang. Aku bangkit dan berbalik untuk mengambil handuk. Sengaja kugunakan kedua tangan, yang tentunya Pak Simin melihat tubuh telanjangku yang berkulit putih salju dari depan. Sengaja lagi aku bergerak selambat mungkin, kulirik mulut Pak Simin meneteskan liur. Kulihat dia bangkit, aku dag di dug, akankah dia nekat memperkosa ??. Aku buru-buru menutup tubuh bagian depan, berbalik badan masuk ke ruang tamu dengan bagian tubuh belakang bugil terpamer indah. Aku sengaja tidak menutup pintu, dan kembali mengintip di balik jendela. Kulihat dia masuk ke kamarnya yang ada di belakang halaman, ternyata dia lebih memiih onani. Menjelang sore, Bang Jaja pulang, pintu gerbang dibuka Pak Simin. Kuintip dari balik tirai jendela kamarku di atas, Bang Jaja berbicara sesuatu dengan Pak Simin, kulihat dia menyerahkan kunci mobil dan berlalu pergi.

Bang Jaja memang hanya supir harian, kerja jika ada Papi Mami. Selain itu, dia pulang ke rumah menemui Istri tercintanya. Pak Simin mengunci gerbang dan masuk ke dalam, dia pasti sedang menaruh kunci di laci ruang tamu.

(Wah, berduaan donk gua sama si Simin tua…), pikirku, aku pun kembali berniat nakal.

Setelah menyiapkan rencana di kepala, aku segera turun menyusul Pak Simin sebelum dia balik ke kamarnya.

“Paak ! Pak Simiiin !!” panggilku, kulihat dia hampir saja pergi.

“Iya Non, A-ada apa ?” sahutnya sedikit terbata, dia tau pasti aku akan bertingkah nakal menggodanya lagi seperti tadi siang.

“Uum, nti malem…temenin Nia makan yah, kita makan bareng !” suruhku, dan langsung naik kembali ke atas karena tak mau ditolak, pastilah dia sungkan makan bersama Nona majikan.

# Dinner together #

Malamnya, Bang Jaja pamit setelah mengambil kunci mobil padaku untuk menjemput Papi. Aku pergi ke kamar merias diri, tampil seseksi mungkin di depan Pak Simin. Kupakai rok mini transparan tanpa dalaman, kaus tanpa lengan berwarna hitam tanpa bra. Kulentikkan bulu mata, kuhias eyes shadow blue dan kuoles tipis bibir dengan Lippgloss pink. Sejam sebelum jam makan, kutelpon KFC untuk order delivery. Selesai berdandan, aku menuruni tangga melingkar rumah. Pak Karsimin terpana dengan apa yang dilihatnya, dandanan-ku tentu tak normal untuk makan malam, untuk ke ranjang sih iya. Mulutnya terus ternganga, aku tersenyum semanis mungkin ke arahnya. Dia menyeka mulutnya yang tak terasa mengalir liur, aku tertawa menang dalam hati. Sambil menunggu orderan datang, aku mengajaknya nonton bersama di ruang tengah. Karena Home theater, tetap enak tertonton walaupun Tv-nya jauh. Pak Simin duduk bersila di lantai, sedang aku duduk di sofa panjang, tempat aku biasa tiduran. Aku sedang berpikir keras, bagaimana cara aku menggodanya.

(Hmm…o-ya, begitu saja…), pikirku.

“Pak, nontonnya disini aja…dingin khan” kataku menepuk sofa di sampingku, seraya memasang wajah polos tak berdosa.

“Engga papa Non…Bapak udah biasa !” sahutnya, matanya melirik pahaku karena aku duduk mengangkat kedua kaki.

“Aah, aku khan kehalangan kepala Bapak nontonnya !” aku berkilah.

“Ooh, maaf Non !”, dia menggeser duduknya.

“Percuma Pak kalo Bapak masih disitu…disini aja Ahh !” aku memaksa dengan wajah cemberut.

Tak enak takut aku marah, Pak Simin pun bangkit. Sebelum bangun berdiri, kulihat dia membetulkan sarungnya, juga ketika berjalan menuju sofa. Tampak dia menekan-nekan selangkangannya yang menonjol itu.

(Oo, udah ngaceng toh hihihi), pikirku jahat dalam hati.

Dia pun duduk di sofa, kini kami dalam sofa yang sama, hanya dia di ujung aku di ujung. Aku melayangkan pandangan ke TV, sedangkan Pak Simin tidak konsen.

Kulonjorkan kaki kearahnya, memamerkan putih…mulus dan jenjangnya. Sesekali, aku menekukkan kedua belah kaki, terkadang sebelah melonjor sebelah terlipat. Jadilah Pak Simin, posisi menghadap ke TV, namun mata melirik ke diriku punya body. Dengan nakal aku sengaja menggaruk-garuk paha, sambil menggeser dikit demi sedikit rok mini. Hingga jika dilihat dari samping, pantatku dapat dinikmati. Kulirik, mata kanan Pak Simin memang miring ke samping, selangkangannya semakin menonjol saja. Sayang kepuasan matanya hanya sampai sini, karena bel berbunyi, tanda pengantar makanan telah datang. Pak Simin ke depan untuk menyambut dan membayar. Kami pun ke ruang makan, aku belum kehabisan akal untuk mengerjainya. Kuatur posisi bangku agar dia ada di sampingku, untuk kosodori ‘paha’. Pak Simin tak berdaya, kubuat konak tanpa bisa merasakan hangat vagina. Aku makan ayam bagian dada mentok, sedang dia kukasih paha. Aku duduk bersila di atas bangku, membuat Pak Simin sering menelan ludah. Sudah beberapa kali dia minum, karena tenggorokannya terasa kering.

“Enak Pak pahanya ?” tanyaku padanya tiba-tiba sekalian menyindir.

“E-enak Non…enaak” sahutnya tergagap, busted.

“Mbok Siti ko’ belum pulang ya Pak ? tadi sih ijin, pergi kemana sih ?”, kuajak dia berbicara, agar exibisionis terasa lebih santai.

“I-i-iya, Bapak lupa nyampein…dia kesini besok shubuh, lagi ada perlu sama kakaknya yang ada di Cengkareng…keponakannya sakit keras !” sahutnya, dengan mata masih saja jelalatan.

“O…Eii !” kujatuhkan sendok ke samping, aku menunduk sengaja menungging, pantatku pasti dipelototinya.

KRAUK !!, “Wadaw…” teriak Pak Simin, aku menoleh penasaran.

“Kenapa Pak ?” tanyaku, melihat dia memegang pipinya.

“A-anu, kegigit tulang Non…” jawabnya mengeluh.

(Rasain ! lu sih mata keranjang, bukan ngeliat paha ayam malah ngeliat paha gw), pikirku senang, sukses mengerjainya lagi.

“Ati-ati Pak !” suruhku, tetapi kembali pamer melipat kaki di atas bangku.

Biasanya, Pak Simin makannya cepat, kali ini aku juara satu. Kurapikan bekas makanan, dan menaruh piring di tempat cucian yang tak jauh.

“Aku duluan ya Pak, temenin Nia nonton lagi lho…” kataku tersenyum manis bertingkah manja, hidungnya langsung keluar ingus.

Aku berjalan meninggalkan dirinya, sambil melenggak-lenggokan pantat. Sesampainya di ruang tamu, kunyalakan Tv dan nonton di sofa menunggunya.

(Mudah-mudahan saja, dia selesai sebelum Papi datang…), harapku.

# Grope, while sleeping #

Kudengar suara langkah kaki, rupanya dia telah selesai. Aku langsung pura-pura tiduran menekuk kaki di sofa. Kurasakan sekali, matanya menelanjangiku. Pasti dia bingung mau bagaimana. Tapi akhirnya, Pak Simin duduk juga di tempatnya tadi duduk.

“Eh !!”, Pak Simin kaget, karena tiba-tiba aku meregangkan tubuh melonjorkan kaki dan menaruh di pangkuannya, membuat dia makin salting saja.

Kurasakan di betis yakni selangkangannya meninggi, dia makin konak Yes !!. Pak Simin menepuk-nepuk telapak kakiku, memanggil namaku untuk mengetahui keadaanku.

“Non, Non Niaa…” dia membangunkanku, namun aku sengaja seperti ini.

Lama kelamaan dia menyerah juga, yang kunanti-nanti datang juga. Tangannya ditaruh di betisku, lalu digesek-gesek untuk merasakan halusnya. Melihat reaksiku Nol, dia semakin ketagihan. Jarinya bergerilya menelusuri paha, sampai meremas pantatku kecil-kecil. Dengan hati-hati, dia mengangkat rok-ku, berniat memuaskan mata melihat isinya.

“HHNGGKH !!”, Pak Simin sesak nafas, dia spontan menyingkap rok-ku sepinggang.

Tubuhku dimiringkannya, sebelah kakiku diangkat dan dipapah ke bahunya. Seketika kurasakan dengus nafas yang menderu, menerpa belahan kemaluanku.

Sniff ! Sniff !!, dia mengendus wangi vaginaku.

Leeeepph !!, sebuah jilatan panjang yang telak di memek tiba-tiba, membuatku tak kuasa menahan desahan.

“Aaaaaaaahh…”, kuintip Pak Simin menyeringai melihat reaksiku. Pria seumurnya, tentu tidak hijau dalam masalah seks. Dia pasti tau kalau aku hanya pura-pura tidur, sengaja menjerumuskan godaan sampai ke hal ini.

Pak Karsimin tertawa cekikikan seperti orang gila tiba-tiba, selanjutnya dia melahap dan menjilat kewanitaanku bagai maniak seks, rakus sekali. Suara seruputan sampai-sampai mengalahkan suara Tv, hal ini menjadi boomerang terhadapku.

(Shit, enak bangeet…), dalam hatiku, tubuhku menggelinjang nikmat tak karuan.

“Sluuurph memek bule…Shrrrrrph Aaaahh, gurih…enak !!” celotehnya.

Senjata makan Nona buatku, aku menyiksa birahi diriku sendiri. Kutahan desahan sebisa mungkin, kugigit bibir bawah untuk menutup suara keluar.

“Emmh…!” aku tersiksa, gairahku meletup-letup, namun tak bisa ku-expresikan. Baik itu melalui desahan, maupun jambakan tangan pada kepala si penyeruput.

Aku hanya bisa mengapit kepalanya karena geli-geli enak, yang percuma karena akan kembali dibentangkan lagi olehnya. Pak Simin menambah serangan, menggerepeh paha dan meremas pantatku. Jarinya dicelup-celupkan ke liang senggamaku yang sudah becek, hingga membuahkan bunyi, Clek..clek..clek..clek !!

“Emmmhh…AAAAAAAAAAAAHHHHH…SSSSHHTT !!” aku orgasme dengan mata terpejam, dan kaki mengapit keras kepalanya.

Kulupakan sejenak status kami, tak peduli bahwa dia adalah tukang kebunku. Yang jelas, mulutnya yang rakus memek itu, berhasil membuatku orgasme. Kenikmatan berganda, di kala orgasmeku yang belum mereda, adalah emutan panjang di bibir vagina. Tubuhku mengejat-ngejat nikmat, Pak Simin tertawa sinting menyaksikan kekalahanku. Mataku masih terpejam, namun dadaku naik turun karena nafasku tersengal-sengal. Dia mengelus-elus pahaku, bangga dengan kemenangannya menaklukanku, dimana aku munafik untuk mengakuinya. Pak Simin melepaskan diri, kuintip dia rupa-rupanya sedang menanggalkan sarungnya. Ternyata, diapun tanpa dalaman, penisnya yang mengacung kini mengincar vaginaku.

(Shit ! gimana niih…?!), pikirku kebingungan.

Maksudku tidak sampai sejauh ini, tidak sampai bersetubuh. Bisa saja aku bangun dan kemudian berakting mengomelinya. Tapi…aku akan gagal mendapatkan kenikmatan berikutnya. Kenikmatan yang lebih nikmat daripada tadi, masuknya penis ke vagina. Selagi aku masih bingung, Pak Simin sudah mengambil posisi mendekati kewanitaanku. Dia kembali memiringkan tubuhku, lalu berjongkok disana. Dipapahnya kakiku sebelah di bahunya, agar lebih mudah memasuki milikku. Aku bingung, Pak Simin melekatkan penis dan bergerak menggesek kewanitaanku. Aku mendesah lirih, sepertinya, aku menyerah saja pada kenikmatan yang terlalu sayang untuk ditolak. Dia membuka lebar bibir kemaluanku, penisnya telah tepat mengarah kesitu.

(Ayo Pak ! setubuhi aku, senggamai aku sampai aku kelojotan bahkan hingga sakit jika jalan…penuhi liangku dengan mani-mu, acak-acak dalamnya sesukamu…entot aku, perkosa aku…milikku adalah milikmu…), dalam hatiku lebai, sudah kepalang horny. Namun sayang, sial bagi kami.

Din Diiiin !!, klakson mobil yang berarti Papi telah pulang.

(Shit ! tanggung banget sih datengnya !!), keluhku, Pak Simin juga bersungut-sungut.

“ADUH !! MEMEK DEPAN MATA, TINGGAL SODOK, WUEDYAAN !!!” omel Pak Simin kesal, gagal maning-gagal maning.

Aku saja yang sudah dapat klimaks sekali merasa tanggung, apalagi Pak Simin. Dia menggebrak-gebrak sofa seperti orang STRES !!, aku memakluminya. Penisnya belum rejeki atas vaginaku, belum jodoh. Pak Simin dengan cepat mengenakan sarung, lalu pergi meninggalkan diriku. Setelah dia keluar, barulah aku segera naik ke atas untuk melepas pakaian dan membersihkan diri dengan mandi susu. Selesai mandi, aku ke kamar Papi untuk menyapanya. Papi sempat bertanya aku tadi dimana sewaktu beliau datang, aku menjawab yang kebetulan tidak perlu berbohong bahwa sedang mandi. Papi hanya menggangguk, aku pamit tidur dan balik ke kamar.

|||||||||||||||||||||||||||||||||||||||

Esoknya, aku terbangun lebih pagi dari biasanya. Aku segera mandi dan sarapan. Lalu menuju kamar Papi. Pintu kamarnya tampak terbuka, dia sedang beres-beres untuk ke Swedia menyusul Mami. Aku masuk dan memeluknya manja dari belakang, karena akan berpisah dengannya kurang lebih seminggu. Papi tertawa, meledek aku yang sudah besar tapi masih seperti anak kecil. Walaupun dia memaklumi karena aku anak satu-satunya dan perempuan pula. Tiba-tiba terdengar suara pintu diketuk.

“Maaf tuan…Pak Hasan sudah datang !” kata suara yang rupanya mbak Siti, dia kembali ke dapur. Raut wajahku pun langsung berubah, Papi memandangku dengan wajah penuh tanda tanya.

“Kenapa Non ?” tanya Papi meledek.

Biasanya Papi menggunakan panggilan ‘Non’ kalau sedang ingin bercanda, aku merengut manja menatapnya.

“Sudahlah, jangan terlalu marah sama dia…khan engga sengaja bikin ubin kamar mandi jadi rusak !” nasihat Papi.

(Bukan itu piii…aduuhh !!), keluhku dalam hati.

“Yuk ke bawah…” ajaknya, kami pun menuju ruang tamu.

Aku melihat Pak Hasan dan Asep sedang duduk di sofa, melempar senyum tanpa dosa ke arah kami.

“Apa khabar Pak ?” sapa Pak Hasan mengawali, menawarkan jabatan tangan.

“Ya, ya baik…berduaan aja ?” sahut papi menyambut jabatan tangan.

“Iya…khan yang musti diperbaiki engga banyak, jadi tukang satu…kernet satu, cukup !”.

“Oh gitu, ok silahkan duduk !”.

“Trimakasih, Non Nia juga gimana khabarnya ?” tanya Pak Hasan padaku sok ramah.

“Baik !!” sahutku ketus, mereka tertawa yang maksudnya hanya aku dan mereka yang mengerti, sementara Papi tidak.

Kemudian Papi dan kedua kuli gila seks itu membicarakan mengenai biaya perbaikan. Setelah selesai dan terjadi kesepakatan, Papi dan pak Hasan kembali berjabat tangan. Mereka menawarkan jabatan tangan juga padaku, namun aku menolaknya. Papi tertawa sambil mengelus-elus punggungku, ia menyangkanya aku marah karena kakiku yang terluka. Padahal bukan itu, tetapi hal yang lebih besar lagi. Mereka tertawa seolah-olah memaklumi, padahal sebaliknya. Mereka akan semakin bergairah dalam menyalurkan dendam birahi jika ada kesempatan menyetubuhiku. Pria macam mereka, semakin kami wanita menolak galak melawan, malah semakin bernafsu gila.

“Nia, Papi berangkat dulu yah !” pamitnya mengelus sayang rambutku.

Aku mencium pungguk tangannya, kuantar dia ke mobil. Papi bilang akan men-transfer uang jajan di jalan ke rekeningku. Aku langsung tersenyum manis senang, Papi mencubit pipiku gemas.

“Mbok, aku jalan dulu…titip Nia !”.

“Tuan…anu maaf, saya baru dapat khabar…keponakan saya yang sakit keras…me-me-meninggal Tuan !!”.

“Ya Tuhan…aku turut berduka mbok” sahut Papi.

Aku yang dekat dengan mbok Siti karena anak tunggal, bergerak mendekatinya dan mengusap-usap punggungnya, larut dalam duka nestapa bersama.

“Iya tuan trimakasih…jadi, saya mau izin seminggu !” kata mbok Siti seraya menyeka air mata.

“Ya-ya, engga papa…” jawab Papi mengambil dompet di kantung belakang celananya, lalu mengeluarkan beberapa lembar ratusan ribu untuk diserahkannya ke Mbok Siti.

Mbok Siti menerima pemberian, mengucapkan terima kasih dan pamit lebih dahulu. Aku meneruskan jalan bersama Papi ke parkiran, Jaja membukakan pintu belakang mobil, Pak Karsimin menggeser pintu gerbang.

“Pak Simin, titip Nia yah !” teriak Papi pada si tukang kebun pervert berumur.

“Beres tuan, hehehe…” sahutnya, yang kemudian menyeringai ke arahku.

(Shit, jangan-jangan dia mau lanjut yang kemarin…), dalam hatiku.

Mobil Papi pun melaju meninggalkanku. Kini, tinggalah aku bersama Pak Simin dan dua kuli pemerkosa.

“Aku ke dalam ya Pak…”.

“Iya Non, Bapak juga nerusin kerjaan nih sebentar lagi…nanti juga Jaja pulang abis anter Tuan, Non kalo ada perlu apa-apa cari aja saya di belakang yah !” terangnya.

Aku mengangguk dengan hati yang lega. Setidaknya, dia akan menjagaku dari niat jahat dua kuli itu. Aku kembali ke ruang tamu, Pak Hasan dan Asep tampak sudah memulai pekerjaannya di kamar mandiku yang ada di atas karena bising suara pukulan palu. Kunyalakan Tv tidur selonjoran di sofa, memakai celana pendek dan kaus tanpa lengan. Betul saja dugaanku, tak berapa lama Pak Simin mendatangiku. Menurut laporan penis, vaginaku masih punya saldo hutang birahi.

(Shit, si tua bangka muka memek dateng nyari gw mau ngentot…), keluhku.

Sayang waktunya tak tepat, aku sedang tidak mood. Mana ada dua orang yang kubenci lagi, aku terpaksa harus tegas menolaknya.

“Non Nia, lagi nonton ?” tanyanya sambil tersenyum mesum.

“Iya…” sahutku ketus singkat, berharap dia pergi karena tak tega aku menolaknya.

“Bapak temenin yah…” katanya dengan cengiran, hingga giginya yang hitam dan mulai ompong itu terlihat olehku.

“Engga usah Pak kali ini…” sahutku memberinya kode, namun dia terlalu udik untuk mengerti.

“Oo ya udah…” balasnya langsung terdiam, aku jadi semakin tak enak.

“Non engga senam lagi kaya kemaren ?” tanyanya lagi tiba-tiba tak menyerah.

Aku tau dia memancing, tapi ada Pak Hasan yang membuatku BT dan tak mungkin aku melakukan hal kemarin ada dia. Secara tak langsung, Pak Simin menyudutkanku. Serba salah dan tak mungkin kujelaskan masalahku, Papi saja tidak tau.

“Ada tukang bangunan khan Pak, engga mungkin sekarang-lah…Nia malu donk, udah Bapak keluar deh jangan ganggu Nia dulu !” kataku telepasan ketus, Pak Simin terlihat kecewa dan sedikit marah dari guratan di wajahnya.

Dia bangkit dan berjalan cepat meninggalkanku, aku merasa bersalah jadinya. Habis, harus bagaimana lagi ?. Sementara ini, Pak Simin pasti berpikiran bahwa aku hanya mempermainkan dirinya. Seharusnya aku langsung minta maaf padanya. Dalam masa kalutnya hati dan pikiran, mataku kriyep-kriyep, kata orang sih tidur ayam. Beberapa menit kemudian mataku gelap dan memetik kembang tidur. Aku bermimpi, mimpi kedatangan dua pria tampan. Keduanya bergerak menelanjangi dan menggerayangiku. Melihat ketampanannya aku pasrah, satu pria menciumi pipiku penuh nafsu, satunya menggerayangi pahaku dengan gencar. Tapi aneh ? cumbuan mereka kasar sekali, tidak sesuai dengan wajah, tidak romansa dan tak senada. Pria yang menciumi pipi, sekarang menghisap payudaraku. Pria satunya yang menggerayang paha, melahap rakus kewanitaanku. Keduanya lapar dan dahaga, walau tak kupungkiri aku menikmatinya. Kuangkat kelopak mata sedikit demi sedikit.

(Aah, kenikmatan ini nyata…tapi, mana ada pria tampan ? di rumah semuanya pria buruk muka ?!), aku tersadar dengan mata terbelalak.

(AAAARGHH…SHIIITT !!!).

Leave a Reply

 

Links

Comments

Followers